TINJAUAN YURIDIS TENTANG TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK SETELAH P3RC3R414N (Studi di Pengadilan Agama Kota Baubau)

Post a Comment

BAB I

PENDAHULUAN


1. 1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya semua manusia memepunyai keinginan untuk hidup bahagia, sebegai pelengkap atas kebahagiaan itu, manusia memilih untuk mencari pasangan hidup yang akan dibawa dalam pernikahannya dan dari  pernikahan yang bahagia itu akan menghasilkan buah hati (anak) dari hasil pernikahan tersebut.

Anak dalam masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap upacara pernikahan, terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai anak. Tentunya anak yang lahir diharapkan menjadi anak yang berguna bagi keluarga, nusa dan bangsa dimasa mendatang, bukan untuk menjadi pengemis, gelandangan atau anak yang terlantar di jalan tanpa ada dampingan atau perlindungan dari keluargannya atau orang tuanya.

Anak adalah anugrah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk kita jaga dan kita lindungi hak-haknya sebagai seorang anak. Karena anak inilah yang akan kita siapkan untuk menjadi manusia-manusia yang tangguh dan kuat yang akan meneruskan cita-cita keluarga sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Sebagai penerus bangsa karena apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak. Setiap komponen bangsa baik pemerintah ataupun nonpemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memeberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang wajib melakukan pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung ataupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita kerugian (mental, fisik dan sosial) karena tindakan yang pasif, atau tindakan aktif dari orang lain atau kelompok (swasta atau pemerintah) baik langsung ataupun tidak langsung. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar tidak mengalami kerugian, baik mental, fisik,maupun sosial.

Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dalam kebijaksanaan Pasal 34. Pasal ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena yang menjadi esensi dasar kedudukan anak dalam kedua pengertian ini, yaitu anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional, yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Pengertian menurut UUD 1945 dan pengertian politik melahirkan atau menonjolkan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara; atau dengan kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab terhadap masalah sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak.

Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Siemitro, S.H. dijabarkan sebagai berikut “Ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Anak” yang berarti makna anak (pengertian anak), yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak juga berhak atas perlingdungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan anak dengan wajar.

Pengelompokan anak menurut pengertian Hukum Perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek itu menyangkut “Status belum dewasa yaitu anak yang berusia 21 tahun dan belum pernah menikah sebagai subjek hukum dan hak-hak anak di dalam Hukum Perdata”.

Pada kedudukannya seorang anak, akibat dari belum dewasa menimbulkan hak-hak anak yang perlu direalisasikan sebagai ketentuan hukum khusus yang mengangkut urusan hak-hak keperdataan anak tersebut. Sebagaimana termuat dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyebutkan mengenai hak dan kewajiban antar otang tua dan anak. Disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 45 Ayat (1) yaitu: “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya” Sedangkan Ayat (2) yaitu: “Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antar keduanya putus”.

Berdasarkan pasal tersebut berarti bahwa walaupun kedua orang tua anak telah berpisah atau b3rc3r41, tetapi kewajiban sebagai orang tua untuk memberikan haknya kepada anaknya tidaklah putus. Anak harus tetap mendapaatkan hak-haknya sebagai seorang anak sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 45 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Selain itu, kesadaran dunia internasional terhadap pentingnya jaminan atas hak anak dikemukakan dalam konvensi hak anak (convensi on the right of children) pada tahun 1989 dimana hampir semua negara meratafikasi hasil dari konvensi hak anak tersebut. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (2) dalam konvensi hak anak yang menyatakan bahwa: "Negara-negara peserta berusaha untuk menjamin bahwa anak-anak akan mendapat perlindungan dan perawatan seperti yang diperlukan bagi kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan tanggung jawab orang tua, wali ataupun perorangan lainnya yang secara hukum bertanggung jawab atas anak itu, dan untuk ujuan ini akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif yang tepat”.

Kemudian Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2) menyatakan bahwa: "Ayat (1): negara-negara peserta mengakui hak atas setiap anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Ayat (2): orang tua atau mereka yang bertanggung jawab atas anak memikul tanggung jawab utama untuk menjamin, dalam batas-batas kemampuan dan keuangan mereka, kondisi kehidupan yang diperlukan bagi pengembangan anak”.

Berdasarkan hal tersebut sebagaimana dikemukakan dalam konvensi hak anak, orang tua memegang tanggung jawab utama atas jaminan kesejahteraan bagi anaknya dalam kehidupan sosialnya. Kemudian pengaturan mengenai hak anak dalam hukum nasional kita salah satunya tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: "Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari k3k3r4s4n dan d1skr1m1n4s1, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera"

Tidak terlepas dari semua itu yang bertanggungjawab untuk menjamin terselenggaranya hak-hak yang sudah melekat pada anak salah satunya yaitu negara dan orang tua sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu: "Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak"

Selain itu terdapat dalam Pasal 26 Ayat (1) yang menyatakan: “Orang tua berkewajiban bertanggung jawab untuk:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan

4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak”

 Banyaknya hak yang melekat pada anak, harusnya tingkat keseimbangan kesejahteraan pada anak juga dapat tercapai. Namun sangat ironi ketika masih banyak anak-anak terlantar dan tidak diurus oleh orang tuanya, masih banyaknya di jalan-jalan terdapat pengemis-pengemis anak, bahkan tidak sedikit pula gelandangan dan pengemis anak yang disebabkan akibat p3rc3r414n dari kedua orang tuanya, yang seharusnya mereka masih dalam perlindungan orang tuanya, baik kedua orang tuanya telah b3rc3r41 atau tidak b3rc3r41 akan tetapi hak anak tetap sama dan tidak berkurang dari orang tuanya walaupun sudah b3rc3r41, seperti dijabarkan dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena p3rc3r414n yang disebabkan baik dari pihak ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Hal demikian membuktikan bahwa hak anak belum sepenuhny tersalurkan dengan baik, baik dari orang tua, masyarakat ataupun pemerintah. Anak belum sepenuhnya mendapatkan jaminan atas haknya dari pemerintah apabila terjadi penelantaran terhadap anak oleh kedua orang tuanya yang b3rc3r41, ataupun akibat dari yang lainnya. Lantas apa yang dapat dilakukan oleh seorang anak karena melihat pada dasarnya anak adalah subjek hukkum yang tidak mampu oleh karena itu harus selalu didampingi oleh orang tua atau harus mendapat jaminan dari pemerintah agar hak-haknya yang sudah diatur sedemikian banyak tetap terpenuhi dan benar-benar melekat pada anak terkait dengan penelantaran atau pembiaran anak yang ditinggal oleh kedua orang tuanya.

Seiring berjalannya waktu semakin banyak pula kasus p3rc3r414n dan dari p3rc3r414n itupun juga akan mengakibatkan berbagai akibat hukum termasuk salah satunya yaitu tanggungan orang tua untuk tetap memberikan kewajiban kepada anak. Dari kasus-kasus p3rc3r414n yang ada, terdapat berbagai varian diantaranya ada yang dalam putusan pengadilan menuntut mengenai hak nafkah terhadap anak dan ada pula yang tidak. Permasalahannya adalah ketika putusan pengadilan memutuskan untuk membebankan kepada salah satu orang tua  dari sang anak maka hal itu pula yang harus dilaksanakan oleh orang tua yang dibebankan dari pengadilan dalam suatu putusan pengadilan untuk memberikan nafkah kepada anak atau hak-hak yang harus diperoleh oleh anak.

Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dalam penelitian yang bejudul Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Percaraian (Studi di Pengadilan Agama Baubau). 

1. 2. Perumusan Masalah 

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang dikaji oleh penulis, serta mempermudah masalah agar lebih terarah dan mendalam sesusai dengan sasaran yang tepat. Selain itu, perumusan masalah diharapkan dapat memberikan arah pembahasan yang jelas sehingga  terbentuk hubungan dengan masalah yang dibahas. Maka dalam penelitian  ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 

1. Bagaimanakah tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah p3rc3r414n menurut hukum perlindungan anak? 

2. Bagaimana pelaksanaan dan pemenuhan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah putusan p3rc3r414n? 

1. 3. Tujuan Penilitian 

Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan, yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih mendalami segala segi kehidupan. Penelitian merupakan suatu sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik segi teoritis maupun praktis. Adapun tujuan dalam  penelitian ini adalah sebagai berikut: 

1. Untuk mengetahui tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah p3rc3r414n menurut hukum perlindungan anak. 

2. Untuk mengetahui pelaksanaan dan pemenuhan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah putusan p3rc3r414n.


Download : FULL PDF FILE

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Related Posts

Post a Comment

PERCAYALAH KAMU BISA, KARENA DENGAN KEPERCAYAAN USAHA UNTUK BELAJAR SEMAKIN TERDORONG
Subscribe Our Newsletter